Di balik janji devisa, tersembunyi sebuah pengkhianatan: ketika hutan yang menjadi jiwa bangsa, dijual murah oleh tangan-tangan serakah.
Dari Paru-Paru Dunia Menuju Tanah Luka
Indonesia, yang diagungkan sebagai pemilik “Paru-Paru Dunia”, kini menyaksikan hutan hujan tropisnya diubah menjadi tanah luka atas nama keuntungan sesaat. Krisis lingkungan bukan lagi ancaman di masa depan, melainkan kenyataan pahit yang terasa hari ini. Data dari Global Forest Watch (GFW) mengukuhkan bahwa Indonesia berada di garis depan daftar negara dengan tingkat kehilangan hutan primer tertinggi di dunia. Deforestasi ini digerakkan bukan hanya oleh industri sawit, tetapi yang paling mengkhawatirkan adalah pertambangan serakah yang menggali isi bumi tanpa memedulikan warisan kita.
Kehancuran ini hanya bisa terjadi karena manipulasi kekuasaan. Kami menyaksikan ironi di mana para pemangku kebijakan, yang seharusnya menjadi garda terdepan penjaga alam, justru menggunakan wewenang secara sewenang-wenang untuk memperkaya diri dan kroni mereka. Izin-izin tambang dan konsesi lahan dikeluarkan dengan mudah, sering kali mengabaikan studi dampak lingkungan (Amdal) yang krusial, hanya untuk menumpuk kekayaan pribadi. Mereka menjual masa depan bangsa dengan harga murah, demi keuntungan jangka pendek.
Pelanggaran Nurani dan Keadilan: Mengkhianati Pancasila
Tragedi ekologis ini sesungguhnya adalah pengkhianatan terhadap falsafah bernegara kita. Menjual dan merusak sumber kehidupan yang dititipkan Tuhan adalah cedera serius terhadap Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa. Jika kita meyakini adanya Pencipta, maka sudah menjadi kewajiban moral dan spiritual kita untuk menjaga ciptaan-Nya. Kerusakan lingkungan yang menghancurkan warisan alam, menghilangkan biodiversitas, dan mengancam keseimbangan hidup adalah bentuk nyata dari ketidakbertanggungjawaban iman. Kita telah gagal menjadi khalifah di bumi, mengutamakan harta benda fana di atas kedaulatan Tuhan dan alam semesta.
Lebih lanjut, kerusakan ini secara fundamental melanggar Sila Kelima: Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Keadilan tidak hanya tentang distribusi kekayaan; ia adalah keadilan intergenerasi hak bagi anak cucu kita untuk menikmati bumi yang sehat dan keadilan ekologis. Ketika segelintir elite meraup untung dari pengerukan sumber daya, namun dampaknya (polusi, bencana, kehilangan mata pencaharian) ditanggung oleh masyarakat adat dan rakyat kecil, maka yang terjadi adalah ketidakadilan sosial yang telanjang. Pembangunan yang mengorbankan air bersih, udara sehat, dan hak hidup masyarakat adalah pembangunan yang berdiri di atas fondasi yang rapuh dan amoral.
Ancaman di Timur: Jeritan Masyarakat Adat yang Melawan
Tragedi kemanusiaan dan ekologi paling nyata terjadi di Papua, yang masyarakat adatnya menyebut hutan sebagai “Tanah Mama” tempat lahir, sumber kehidupan, dan identitas. Hutan Papua bukan hanya sumber kayu; ia adalah perpustakaan kearifan lokal, sumber makanan, obat-obatan, dan warisan budaya yang tak ternilai.
Sayangnya, hutan-hutan subur ini kini dikepung oleh industri ekstraktif. Pembukaan lahan masif untuk tambang dan perkebunan membuat masyarakat adat terancam kehilangan tempat tinggal, sumber air, dan ladang kehidupan mereka. Ini adalah krisis identitas dan eksistensi. Ironisnya, saat keadilan hukum gagal mereka dapatkan, teriakan mereka pun pecah di jalanan. Berulang kali, kita menyaksikan barisan rakyat suku pedalaman Papua harus meninggalkan hutan dan turun ke kota, berdemonstrasi di hadapan kantor pemerintahan, semata-mata untuk menuntut keadilan dan mempertahankan sejengkal tanah adat/nenek moyang mereka.
Perlawanan mereka tak hanya sebatas demonstrasi formal. Masyarakat adat sering menggunakan bahasa budaya sebagai tameng terakhir. Bentuk perlawanan yang kuat adalah pemasangan Palang Adat di lokasi-lokasi yang disengketakan atau hendak dirampas. Simbol ini, yang sering dilengkapi dengan salib merah, merupakan tanda penolakan mutlak secara adat dan spiritual atas perampasan tanah oleh perusahaan dan negara. Palang adat mewakili pertahanan yang tak bisa diganggu gugat, sebuah perlawanan ekologis yang berakar pada kearifan leluhur (Mongabay: Palang Adat, Simbol Orang Papua Protes Perampasan Tanah).
Ketika masyarakat adat Papua dipaksa pergi, yang sesungguhnya hilang adalah jiwa kearifan Nusantara itu sendiri—sebuah suara hati yang kini terbungkam oleh bisingnya alat berat dan keserakahan.
Tanda Tanya di Balik Pembangunan
Dampak dari keserakahan ini merambat ke seluruh ekosistem. Pengerukan mineral menyisakan lubang-lubang raksasa yang tidak direklamasi, menjadi kolam kematian yang sesekali menelan korban. Di banyak lokasi, limbah beracun (tailing) mencemari sungai dan lautan. Menurut laporan lingkungan, banyak sungai di Indonesia terkontaminasi logam berat dari aktivitas pertambangan, merusak ekosistem air dan mengancam kesehatan jutaan warga.
Pemerintah seringkali menggunakan narasi “pembangunan dan devisa negara” untuk menjustifikasi kehancuran ini. Namun, pembangunan macam apa yang harus dibayar dengan air mata rakyat, rusaknya lingkungan secara permanen, dan risiko kesehatan akut bagi anak-anak? Ini adalah pertukaran yang tidak adil dan tidak bermoral.
Menuntut Keadilan bagi Tanah Air
Opini ini adalah seruan terakhir untuk menghentikan praktik “korupsi hijau” yang telah menggerogoti negeri ini. Kita harus menuntut transparansi dan penegakan hukum yang tegas terhadap para elite yang menjual hutan dan tanah air demi ambisi sesaat.
Kita perlu menyadari bahwa harta karun terbesar bangsa ini bukanlah mineral di bawah tanah, melainkan hutan yang berdiri tegak di atasnya. Marilah kita bersatu, mendengarkan kembali jeritan Tanah Mama, dan berjuang bersama masyarakat adat yang menjadi benteng pertahanan terakhir kedaulatan alam. Keadilan harus ditegakkan, bukan hanya di ruang sidang, tetapi di setiap jengkal tanah yang kita pijak.
Ketika Bumi Pertiwi merintih kehilangan paru-parunya, apakah kita, sebagai pewaris bangsa ini, akan terus membiarkan keserakahan menjadi nisan bagi keindahan Nusantara?
Sumber Rujukan
[1] Deforestasi di Papua akibat izin industri ekstraktif. (https://jubi.id/nasional-internasional/2023/greenpeace-tanah-papua-kehilangan-hutan-alam-seluas-6414-ribu-hektar/)
[2] Mendesak Komnas HAM menghentikan PSN Merauke yang mengancam hak ulayat. (https://ylbhi.or.id/informasi/siaran-pers/mendesak-komnas-ham-menerbitkan-rekomendasi-untuk-presiden-menghentikan-psn-merauke/)
[3] Laporan Walhi tentang 47 korporasi terindikasi korupsi di sektor SDA Papua. (https://papua.betahita.id/news/detail/10964/walhi-laporkan-47-korporasi-terindikasi-korupsi-sumber-daya-alam.html?v=1741733189)
[4] Dampak pertambangan di Papua yang menyebabkan korban dari masyarakat adat, termasuk anak-anak. (Konteks laporan terkait kesehatan dan lingkungan yang parah).
[5] Palang Adat, Simbol Orang Papua Protes Perampasan Tanah. (https://mongabay.co.id/2025/08/08/palang-adat-simbol-orang-papua-protes-perampasan-tanah/)
Penulis: Rahma Khasanah